Nasib TKI Indonesia diperlakukan tidak manusiawi oleh Majikan Muslim Timteng memilih Kabur ke Negara Kristen

Sebagian besar pekerja domestik asal Indonesia yang bekerja di Inggris adalah mereka yang melarikan diri ketika dibawa oleh majikan berkunjung ke negara ini untuk berlibur, dinas atau berobat.

Pada umumnya majikan adalah orang-orang dari negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab.

Alasannya, seperti dipaparkan oleh Catherine Kenny dari Kalayaan, LSM yang membantu pekerja domestik asing, mereka mendapat akses untuk keluar rumah dan mendapat informasi bahwa rekan-rekan mereka bernasib lebih baik di Inggris, terutama di ibu kota Inggris.

“Di London, mereka mengantarkan anak-anak yang mereka asuh ke taman dan bertemu dengan pekerja-pekerja dari banyak negara. Lantas mereka mendapati bahwa gaji rekan-rekan mereka di sini jauh lebih tinggi, jam kerja mereka teratur dan terbatas, paspor tidak ditahan majikan dan mereka mendapat hari libur,” Kenny berkata dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia di kantor Kalayaan di London.

Image copyrightBBC INDONESIAImage captionCatherine Kenny berkata undang-undang di Inggris berlaku adil bagi tenaga kerja dan majikan.

Akan tetapi belakangan, jumlah mereka yang meminta bantuan organisasinya di London cenderung turun.

Ia menduga mungkin hal itu ada kaitannya dengan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah yang diberlakukan pemerintah Indonesia selama beberapa tahun terakhir sehingga mungkin para majikan kekurangan tenaga kerja di negara asal mereka.

Kemungkinan kedua, menurut Catherine Kenny, para majikan jera membawa serta TKI ke Inggris karena sering terjadi insiden tenaga kerja kabur sesampai mereka di negara ini.

Inggris sendiri tidak menjadi tujuan pengiriman TKI sehingga mereka masuk ke Inggris melalui negara-negara lain.

Tidak sulit untuk menemukan pekerja domestik asal Indonesia yang kabur dari majikan dan berikut sebagian kisah mereka sebagaimana mereka ceritakan sendiri dalam wawancara dengan BBC Indonesia:

Nuraeni Abdulsalam

Image copyrightBBC INDONESIAImage captionNuraeni Abdulsalam telah bekerja di Inggris sejak 2008.

“Saya datang ke ibu kota Inggris, London, pada bulan Juli 2008 untuk menyertai keluarga majikan warga negara Arab Saudi. Majikan laki-laki bekerja di perusahaan minyak Saudi Aramco dan ia hendak ke bertugas ke Jepang maka ia membawa istri dan kedua anaknya ke London untuk berlibur,” tutur Nuraeni.

Mengantarkan anak-anak majikan bermain ke taman atau berbelanja ke suparmarket di kawasan London barat mempertemukan Nuraeni dengan tenaga-tenaga kerja lain.

Dua di antara mereka, seorang pekerja Filipina dan seorang pekerja Indonesia mendorongnya untuk kabur “karena mereka tahu kondisi kerja saya buruk dan gaji saya rendah.”

“Ibaratnya satu bulan gaji di Arab Saudi, kalau di London ini mungkin tak sampai gaji seminggu.”

Image copyrightNURAENIImage captionNuraeni bersama seorang rekannya mewakili J4DW dalam konferensi ILO di Parlemen Eropa pada 2013.

Diakuinya ia tak punya rencana kabur sebelumnya, sebab jika mau, ia bisa melakukan itu ketika diajak majikan ke Amerika Serikat beberapa tahun sebelumnya.

“Saya memberanikan diri untuk kabur karena saya melihat kesempatan di London terbuka dan mungkin inilah yang bisa mengubah hidup saya.”

Selain menjadi pekerja rumah tangga, Nuraeni Abdulsalam belakangan aktif di organisasi pekerja domestik J4DW.

Ayu

Image copyrightBBC INDONESIAImage captionAyu menuntut majikan di pengadilan agar gajinya selama satu tahun dibayar.

“Saya bekerja di Suriah sampai tahun 2009 sebelum dibawa oleh majikan ke London karena akan sangat mahal kalau mencari tenaga kerja yang sudah ada di London,” kata Ayu.

Setelah berada di London, perempuan asal Jawa Barat ini mengetahui bahwa standar gaji di Inggris ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan di Suriah dan faktanya ia bekerja di Inggris sehingga secara logika harus sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan setempat.

“Saya masih digaji US$200 sama dengan gaji di Suriah. Tetapi itu pun gaji tak dibayar. Nah, saya di sini pun kabur.

“Dia tak menggaji saya setiap bulan sedangkan saya punya dua anak di Indonesia yang harus saya cukupi karena saya sudah cerai sama suami.”

Ia mengaku semula ragu apakah usahanya untuk melarikan diri akan berhasil. Ditambahkannya, berkat bantuan seorang kenalan dan lembaga Kalayaan, ia pun menuntut majikan.

“Kalau di Saudi atau negara lain, kalau kabur kita dipukuli oleh polisi. Di sini walau bukan negara Muslim, kita dibantu sampai sidang berakhir untuk menuntut gaji saya dibayar.”

Diceritakan oleh Ayu, pengadilan memutuskan majikan harus membayar penuh gajinya. Ia kini bekerja untuk majikan lain dan sudah menikah lagi.

Imah

Image copyrightBBC INDONESIAImage captionImah mengaku sempat diancam oleh mantan majikan bahwa visanya akan dibatalkan.

“Saya dipinjamkan oleh majikan di Abu Dhabi ke adiknya yang mengobatkan anaknya di London. Saya bekerja bersama mereka di London selama satu tahun.

“Ketika kontrak habis, saya minta dipulangkan ke Indonesia, tapi mereka tidak mau dan tidak membayar gaji saya pula,” Imah berkata dalam wawancara dengan wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir, di markas BBC di London.

Dengan mata lebam setelah sering menangis, dikisahkan oleh Imah, ada seseorang yang melihatnya dan merasa iba. Orang tersebut lantas mengenalkan Imah kepada seorang warga negara Indonesia yang bekerja sebagai pekerja domestik di London barat.

Keduanya mendorong Imah melarikan diri dari majikan dan mencari pekerjaan baru.

“Waktu kabur, aku sempat takut soalnya di sini aku tidak bisa bahasa Inggris dan aku juga tak terlalu percaya bahwa teman itu mau benar-benar bantu atau tidak. Tapi aku jalani sepenuh hati.

“Teman itu memberi tempat tinggal dan majikannya juga menerimaku,” Imah berkisah.

Dengan bantuan teman itu pula, Imah mengurus paspor baru ke KBRI London dan mengajukan permohonan visa pekerja domestik ke Kementerian Dalam Negeri Inggris (Home Office).

Pada 2012, ia mengaku mendapat keduanya.

Imbuan KBRI

Atas peristiwa-peristiwa yang dialami para tenaga kerja Indonesia, KBRI London melalui Minister Counsellor Eka Aryanto Sutjipto, menyarankan agar mereka mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan dan juga melapor ke KBRI.

Dikatakannya, KBRI London tidak mendorong orang-orang tanpa dokumen lengkap untuk tetap bekerja di Inggris.

Bagikan ke :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *